BERNARDUS - “Satu perangkat kepercayaan dan tindakan yang diikuti oleh mereka yang berkomitmen untuk melayani dan menyembah Allah. Perintah pertama menuntut kita untuk percaya
pada Tuhan, untuk menyembah dan melayani Dia, sebagai tugas pertama dari kebajikan agama.”
Dari definisi ini, maka kita melihat bahwa agama mengajarkan satu perangkat kepercayaan atau iman dan bagaimana mewujudkan iman atau kepercayaan ini, baik dengan doa, ritual atau berbagai macam cara yang mengatur bagaimana untuk menyembah Tuhan yang dipercayai, maupun dengan satu pengajaran moral yang mengatur bagaimana untuk hidup dengan baik sesuai dengan apa yang dipercayai.
Di sisi lain, ada orang yang mengatakan bahwa agama adalah “free thinker“. Namun, kalau kita meneliti, sungguh sulit menjadi free thinker yang sesungguhnya, karena seseorang dalam satu tatanan sosial mempunyai satu aturan atau kebiasaan yang harus diikuti oleh orang yang tergabung dalam masyarakat tersebut. Orang yang tidak mempunyai agama juga dapat didorong oleh alasan karena tidak mau terikat oleh satu tatanan – baik iman maupun moral – dari satu agama. Orang seperti ini adalah orang yang mengedepankan pemikiran sendiri, atau dengan kata lain, agamanya adalah apa yang dia pandang baik menurut dirinya sendiri. Namun, dalam sejarah umat manusia, telah dibuktikan bahwa ada banyak orang yang salah dengan pemikirannya, juga termasuk kaum cerdik pandai. Jadi, orang dalam kategori ini mempunyai resiko untuk mempercayai apa yang salah.
Konsep Toleransi dan Perdamaian Dalam Ajaran Gereja Katolik
Di jaman kuno di Roma, Cicero sudah berbicara mengenai toleransi, ketika ia. menulis bahwa “agama. kita berlaku untuk kita, sedangkan kalau ada orang yang mau beragarna lain, kita memberi toleransi untuk itu” (Pro Flacco 28). Pada tahun 313 dalam Kerajaan Romawi, secara politis diterbitkan ‘Keputusan toleransi di Milano’ untuk membiarkan orang kristiani hidup di antara orang dengan agama romawi. Sejak abad ke-16 ada konsesi-konsesi dalam kekaisaran Romawi dan Jerman menyebabkan penyimpangan kultur atau politis dibiarkan. Misalnya, agama yang tidak sama dengan pimpinan negara. Sejak tahun 1689 di Inggris ada UU toleransi yang memberi tempat kepada ‘anggota masyarakat yang berbeda pendapat dengan kebanyakan warga masyarakat’. Pada 13 Oktober 1781 Kaisar Joseph Austria yang mayoritas penduduknya katolik mentoleransi orang yang beragama kalvinis, lutheran dan ortodoks untuk memiliki tanah serta, melaksanakan ibadat. Di negara itu pada 1782 diumumkan toleransi terhadap orang Yahudi yang nantinya dibatalkan Hitler.
Begitulah kita sudah melihat beberapa konteks pemberian toleransi. Tampak sekali bahwa toleransi mencakup spektrum pemahaman yang luas. Tidak hanya bidang politik, tetapi juga bidang sosial, ekonomi, teologi, bahkan juga medis dan teknis. Oleh sebab itu, diperlukan sikap hati-hati untuk memahami arti toleran. Dari lain sudut, spektrum pemahaman itu juga boleh meneguhkan bahwa toleransi itu sesuatu yang umum adanya dalam aneka bidang kehidupan manusia, walau sekarang sering toleransi hanya dipikirkan ada dalam dunia politik dan pergaulan kemasyarakatan luas.
Toleransi secara etimologis memang berasal dari kata tolerare yang berarti ‘menanggung’ atau ‘membiarkan’. Toleransi dapat mempunyai warna etis-sosial, religius, politis dan yuridis serta filosofis maupun teologis. Secara kasar toleransi menunjuk pada sikap membiarkan perbedaan pendapat dan perbedaan melaksanakan pendapat untuk beberapa lapisan hidup dalam satu komunitas. Pada umumnya arah pemahaman toleransi mencakup pendirian mengenai membiarkan berlakunya keyakinan atau norma atau nilai sampai ke sistem nilai pada level religius, sosial, etika politis, filosofis maupun tindakan-tindakan yang selaras dengan keyakinan tersebut di tengah mayoritas yang memiliki keyakinan lain dalam suatu masyarakat atau komunitas. Sejak jaman reformasi, hal itu berarti memberi kebebasan beragama dan melaksanakan suara hati serta kebebasan budaya kepada minoritas. Dalam dunia modern toleransi menyangkut hak azasi manusia. Dapat dibedakan toleransi formal (dalam hukum resmi) dan toleransi isi (dalam hidup harian menghargai keyakinan minoritas). Dalam jaman pencerahan toleransi dituntut untuk memungkinkan orang melaksanakan kebebasan berpikir dan berdemokrasi. Hal itu jaman sekarang diandaikan untuk memberi ruang pada perbedaan pendapat dan tawaran kebenaran serta kampanye norma yang ‘fair’ dalam ‘pasar pendapat dunia modern.
Ide dasarnya adalah bahwa tak ada manusia yang bisa memiliki kebenaran utuh maupun cara menemukan kebenaran secara sempurna. Sebab pencarian kebenaran diakui sebagai proses majemuk yang menyejarah, tidak sekali jadi. Selain itu toleransi diperlukan agar suara hati masing-masing orang dapat berfungsi secara wajar dan saling dihargai. Dalam masyarakat tertutup pun sesungguhnya toleransi diperlukan agar berlakunya norma umum (bukan keinginan seorang pemuka masyarakat) terjamin, seraya memungkinkan agar pendapat mayoritas berkembang demi keseimbangan masyarakat; di lain pihak diharapkan pula bahwa orang yang berbeda pendapat tidak ditindas dan didiskriminasikan. Dengan mekanisme tersebut toleransi menjarnin terjadinya saling komunikasi dan dapat diatasinya konflik batin maupun konflik sosial secara damai. Begitulah kemanusiaan dapat berkembang baik dalam komunitas yang sehat.
Tiadanya toleransi menyebabkan ‘yang kuat’ menang habis-habisan, sementara yang kalah hancur tanpa bekas. Dengan cara itu masyarakat rugi, karena benih-benih pendapat yang baru tumbuh dan belum kuat dapat hancur sebelum memperoleh kesempatan untuk dilaksanakan dan diuji oleh praksis. Dalam masyarakat demokratis, toleransi mutlak diperlukan bagi perkembangan berpikir secara kreatif dan aktif serta justru untuk memperkembangkan segala potensi masyarakat.
Pada umumnya manusia hidup dengan banyak toleransi: dalam keluarga, dalam kampung, dalam organisasi, dalam paguyuban beriman, dalam perusahaan, dalam pernerintahan. Dalam komunitas politik, dalam bidang-bidang nilai, toleransi secara mutlak diperlukan demi demokrasi. Namun toleransi memang membutuhkan batas. Batasnya adalah bahwa pelaksanaan toleransi tidak ‘mengganggu ketertiban umum’. Namun perlu juga disadari bahwa batas itu tidak jelas. Motivasi toleransi dalam komunitas politik adalah kesetaraan semua warga. Pluralisme menjadi landasan mutlak. Demi kedamaian yang sejajar. Maka toleransi diterima bukanlah karena indifferentnya negara terhadap perbedaan pendapat, namun bahwa negara berdiri di atas semua pendapat fragmentaris. Jadi dasarnya penghargaan terhadap hak azasi manusia dan pengharagaan pada hidup bersama yang damai. Jadi penilaian tinggi terhadap kebebasan dan kebenaran majemuk. Diharapkan bahwa toleransi meninggikan kemungkinan tercapainya kebenaran dan kesejahteraan yang lebih tinggi bagi lebih banyak anggota masyarakat.
Menciptakan kehidupan beragama yang baik bukanlah berdasarkan toleransi yang semu, yang mempunyai tendensi untuk mengatakan bahwa semua agama sama saja. Gereja Katolik tetap menghormati agama-agama yang lain, mengakui adanya unsur-unsur kebenaran di dalam agama-agama yang lain, namun tanpa perlu mengaburkan apa yang dipercayainya, yaitu sebagai Tubuh Mistik Kristus, di mana Kristus sendiri adalah Kepala-Nya. Oleh karena itu, Gereja Katolik tetap melakukan evangelisasi, baik dengan pengajaran maupun karya-karya kasih. Dengan kata lain, Gereja terus mewartakan Kristus dengan kata-kata dan juga dengan perbuatan kasih.
Konsili Vatikan II dalam Nostra Aetate mengatakan demikian :
“Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci di dalam agama-agama ini. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya.[4]
Maka Gereja mendorong para puteranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta perihidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta-kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka.”
Toleransi menjadi bermasalah ketika salah satu pihak merasa dalam posisi mutlak benar, khususnya karena ketentuan ilahi. Repotnya adalah bahwa toleransi diperlukan pada saat orang harus mewujudkan suatu yang tampaknya mutlak namun harus ditampakkan dalam kondisi terbatas. Kondisi terbatas itu dapat secara. mendasar berbatas atau secara insidental berbatas, misalnya tergantung situasi politik, sosial, ekonomis, budaya, psikhis atau biologis.
Pada lapisan teologis, ada dilema: di satu pihak ada tuntutan mencintai sesama secara. penuh dan mengasihi Allah tanpa batas, di lain pihak realitas manusia yang terbatas. Surat Paulus kepada umat di Roma bab 14 dan I Kor 8 menunjukkan bahwa Gereja Perdana mengakui kemungkinan toleransi pada orang-orang yang ‘lemah’ sehingga mempunyai pendapat atau praktik hidup yang tidak sama dengan ‘yang umum’. Cinta pada Tuhan (tanpa batas) dan cinta sesama meminta toleransi sampai batin. Meskipun begitu orang tetap mempunyai pegangan kebenaran (Ef 4: 15). Pada jaman Agustinus ada pergeseran walau Agustinus sendiri mengatakan: “orang tidak dipaksa beriman bila tidak mau sendiri” . Ketika orang mempunyai ajaran Gereja yang tegas, sehingga penyimpangan ajaran atau praktis jadi tampak dan tidak mudah ditolerir. Thomas Aquinas apakah ritus kafir ditolerir? mendekati hal itu. Thomas menyentuh soalnya dari sudut lain dengan mengatakan: “menerima iman itu bebas, namun melaksanakan apa yang sudah dipilih itu wajib”. Banyak kaisar kristiani menuntut agama sama; yang lain dilarang. Namun abad Pertengahan, bahkan ada toleransi terhadap orang Yahudi dan kafir, minimal secara teoritis. Datangnya intoleransi itu dari ketegasan ajaran dan ketertutupan, hidup monastik yang menjadi patokan hidup kristiani yang baik. Di dalamnya termasuk ide kekuasaan ilahi dan duniawi yang bersatu, dengan dasar ajaran yang sama. Orang waktu itu mentolerir orang beragama lain namun tidak mentolerir orang murtad. Dengan perpecahan Gereja toleransi jadi aktual kembali. Lama-lama orang agak acuh tak acuh dengan. iman dan sekularisme menguat sehingga toleransi jadi biasa. Indifferentisme sering mempengaruhi juga. 1689 di Inggris keluar ‘Act of Tolerance’ untuk orang beriman beraneka. H.G. Merabeau menegaskan kebebasan tanpa batas untuk beragama. Leo XIII mengungkapkannya dalam Ensiklik ‘Immortale Dei’ (1885) bahwa “orang tak mempunyai dasar untuk menentang toleransi atau secara. serampangan mendukung toleransi yang adil Surat Pius XII (17- 2 - 1950) menyebut mengenai kebebasan berpikir dalam Gereja Katolik. Di dalamnya termasuk termuat masalah kebebasan suara hati. Orang tak boleh dipaksa melawan suara hati.
Sesungguhnya iman akan penciptaan sendiri sudah membawa konsekuensi dilematis, sebab Allah yang mahakuasa membuat ciptaan yang mengambil bagian dalam hidup, kreativitas dan hidup kekalnya Yang Ilahi. Dengan demikian kepada manusia diberikan kesempatan untuk memilih akan berbuat baik dan memihak Allah, ataukah berbuat jahat dan menolak Allah. Dengan demikian, kemungkinan bahwa melakukan dosa dan kejahatan (jadi “menolak Allah”) itu memang ditolerir Allah yang mahabaik, atas dasar cintanya kepada kebebasan manusia. Sebab hanya dengan kebebasan itulah manusia pantas menjadi ciptaan Allah. Bahwa terbuka kernungkinan manusia memilih menolak Tuhan, itu risiko yang diambil Tuhan dengan menciptakan manusia berbudi.
Allah masih meneruskan cinta-Nya. Ia mengirim Anak-Nya jadi manusia (Fil 2: 1-11). Dengan begitu sekali lagi terjadi toleransi dari yang Mahabesar pada yang berbatas. Sebab penjelmaan memaksa Putra untuk hidup dalam keterbatasan biologis, historis, budaya, psikologis dan spiritual. Namun sebaliknya juga harus dikatakan bahwa justru dengan cara itulah manusia ditebus. Dengan kata lain, penebusan terjadi lewat kesediaan Allah memberi toleransi kepada manusia untuk memilih berbuat kejahatan dan kedosaan daripada selalu berbuat baik.
Injil Luk 16: 1-8, maka beranilah kita berkata bahwa adalah sesuatu yang tidak tahu diri kalau manusia tidak mau memberi toleransi kepada manusia lain; juga orang lain yang lebih kecil atau lebih lemah. Sebab Allah begitu rela berbesar hati terhadap manusia yang penuh kesalahan dan dosa. Dengan kata lain, kalau manusia mau memberi toleransi kepada orang atau kelompok lain hanya masalah realisasi: bahwa manusia mengakui dirinya sudah diberi toleransi oleh Tuhan. Dengan latar belakang itu, toleransi bukanlah jasa manusia melainkan kewajiban manusia.
Dalam konteks itu dapatlah kita lebih memahami Konsili Vatikan II yang mendukung kebebasan beragama dan suara hati. Sebab “Dignitatis Humanae” menunjukkan kebesaran hati mentoleransi pendapat dan keyakinan lain bahwa tugas-tugas itu menyangkut serta mengikat suara hati, dan bahwa kebenaran itu sendiri, yang merasuki akal budi secara halus dan kuat. Adapun kebebasan beragama, yang termasuk hak manusia dalam menunaikan tugas berbakti kepada Allah, menyangkut kekebalan terhadap paksaan dalam masyarakat. Kebebasan itu sama sekali tidak mengurangi ajaran katolik tradisional tentang kewajiban moral manusia dan masyarakat terhadap agama yang benar dan satu-satunya Gereja Kristus. Selain itu dalam menguraikan kebebasan beragama Konsili suci bermaksud mengembangkan ajaran para paus akhir-akhir ini tentang hak-hak pribadi manusia yang tidak dapat di ganggu-gugat, pun juga tentang penataan yuridis masyarakat.
. Maka juga toleransi. Paus Yohannes XXIII dalam Pacem in Terris (no. 14) menunjukkan sikap positif juga terhadap toleransi. Toleransi didukung oleh pendirian bahwa pada kodratnya semua manusia itu sama. Deklarasi Hak-hak Azasi Manusia mengungkapkan seluruh sikap itu dalam rangakaian satu sama lain, yang secara berangsur-angsur dilengkapi: bahwa dari alasan kodratinya semua manusia hanya mempunyai pilihan untuk mentoleransi pendirian dan praktik hidup, satu sama lain. Sebab setiap manusia, dari kodratnya sendiri, memang setara. Maka tidak ada alasan bahwa orang satu tidak mentoleransi orang lain.
Kontipendium Ajaran Sosial Gereja juga melarang kekerasan atas nama agama dengan menyatakan : Tindak kekerasan tidak pernah menjadi tanggapan yang benar. Dengan keyakinan akan imannya di dalam Kristus dan dengan kesadaran akan misinya, Gereja mewartakan “bahwa tindak kekerasan adalah kejahatan, bahwa tindak kekerasan tidak dapat diterima sebagai suatu jalan keluar atas masalah, bahwa tindak kekerasan tidak layak bagi manusia. Tindak kekerasan adalah sebuah dusta, karena ia bertentangan dengan kebenaran iman kita, kebenaran tentang kemanusiaan kita. Tindak kekerasan justru merusakkan apa yang diklaim dibelanya: martabat, kehidupan, kebebasan manusia.
Kalau kita mau sempurna, tentu tidak puas dengan hanya bersikap toleran. Kalau kita mau realistis, mungkin malah harus belajar toleran. Sebab, jangankan mau sempurna mencintai sesama seperti diri sendiri, toleran pada sesama pun kita belum tentu dapat.
Gereja Katolik Menanggapi Stigma Kristenisasi?
Dalam tulisannya berjudul “Gereja dan Reformasi” A.A Yewangoe menyatakan bahwa kaum Nasrani masih banyak yang menanggung beban sejarah masa lampau, yakni stigma bahwa kekristenan adalah agama asing, hanya karena kedatangan para misionaris dari barat itu bersamaan dengan datangnya kolonialisme dan imperialisme barat. Bisa dibuktikan bahwa walaupun kedatangan para misionaris bersamaan dengan tibanya para penjajah, mereka (misionaris) mempunyai penampilan yang lain sama sekali. Malah bisa ditunjukkan bahwa pekerjaan para misionaris justru dihalang-halangi oleh pemerintah kolonial itu. Jadi harus diteriakkan sekuat-kuatnya bahwa kekristenan adalah agama yang sah di republik ini, seperti halnya juga agama-agama yang lain. Nah yang menjadi akar permasalahannya ketika kepentingan berbagai agama bertemu dalam lapisan masyarakat distorsi bisa saja acap kali terjadi. Pembenaran-pembenaran atas nama agama dan menggunakan dalil tersebut untuk bisa melakukan kekerasan atas nama agama.
Masing-masing pihak tetap berpegang teguh pada konsepsi teologisnya masing-masing beserta aplikasinya dilapangan serta menolak tanpa bersikap munafik terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang disahkan di Indonesia; Masing-masing pihak menjadi sekular dan liberal dengan meninggalkan konsepsi teologisnya masing-masing. Agama dianggap sebagi sumber konflik; Masing-masing pihak bersepakat untuk mencari titik temu dibidang sosial kemasyarakatan dan kenegaraan tanpa mengutak-atik konsep teologis yang dianggap baku.
Apa pun kenyataan yang ada, komunikasi perlu terus dijalin melalui berbagi forum komunikasi antar umat beragama. Bangsa Indonesia membutuhkan munculnya kepemimpinan yang baik, pemimpin yang memberikan teladan hidup dan sanggup mengayomi serta memberikan jalan keluar dari krisis yang dihadapi bangsa; pemimpin yang kuat yang dihormati dan disegani; pemimpin yang cerdas, jujur, amanah, dan dapat berkomunikasi dengan baik; pemimpin yang mampu mengatur dan mampu menyelesaikan berbagai konflik yang ada di tengah masyarakat; pemimpin yang mampu menjadi perekat antar komponen bangsa yang mungkin bertentangan satu dengan lainnya.
Dalam konsep pemikiran saya sebagai salah satu anggota gereja. Yesus Kristus yang saya imani di dorong oleh cinta kasih memberi dan menawarkan keselamatan dan tidak pernah memaksa. Tugas gereja adalah mengabarkan keselamatan bukan mengkristenkan orang. Dan orang-orang beragama pun harus bersaksi dalam hidupnya melalui kata-kata dan perbuatan dan keteladanan. Dan biarlah orang-orang yang melihat mempertimbangkan dan mengambil keputusan atas apa yang didengar dan disaksikannya. Sebenarnya salah satu yang membuat masalah semakin besar antara Kristen dan agama yang lain adalah: kita semua terlalu arogan dengan pemahaman agama yang kita miliki, seolah-olah kita sudah memahami semua maksud dan kehendak Tuhan, tidak takut-takut kita mau saling mencemooh, merendahkan kitab suci dan isi ajarannya, tanpa memahami betul ajaran tersebut. Kita terlalu suka menggeneralisasi akan suatu hal. Seperti halnya berbagai kasus yang diangkat dalam berbagai berita yang provokatif banyak hal yang terlalu digeneralisir mengenai sikap-sikap dan tindakan kekristenan yang dikutip dari sebagian topik lalu mengangkatnya menjadi penyebab utama.
Jadi, kehidupan beragama yang baik, hanya dapat terlaksana jika terjadi suasana dan lingkungan yang memberikan kebebasan beragama dan setiap umat dapat melaksanakan agama masing-masing dengan bijaksana. Pada saat yang bersamaan, maka umat Katolik juga harus tetap berakar pada doktrin yang kuat, serta bijaksana dalam proses evangelisasi. Evangelisasi yang paling efektif adalah dengan memberikan kesaksian akan Kristus dalam kehidupan sehari-hari, yaitu dalam perjuangan untuk hidup kudus.
Di sisi lain, ada orang yang mengatakan bahwa agama adalah “free thinker“. Namun, kalau kita meneliti, sungguh sulit menjadi free thinker yang sesungguhnya, karena seseorang dalam satu tatanan sosial mempunyai satu aturan atau kebiasaan yang harus diikuti oleh orang yang tergabung dalam masyarakat tersebut. Orang yang tidak mempunyai agama juga dapat didorong oleh alasan karena tidak mau terikat oleh satu tatanan – baik iman maupun moral – dari satu agama. Orang seperti ini adalah orang yang mengedepankan pemikiran sendiri, atau dengan kata lain, agamanya adalah apa yang dia pandang baik menurut dirinya sendiri. Namun, dalam sejarah umat manusia, telah dibuktikan bahwa ada banyak orang yang salah dengan pemikirannya, juga termasuk kaum cerdik pandai. Jadi, orang dalam kategori ini mempunyai resiko untuk mempercayai apa yang salah.
Konsep Toleransi dan Perdamaian Dalam Ajaran Gereja Katolik
Di jaman kuno di Roma, Cicero sudah berbicara mengenai toleransi, ketika ia. menulis bahwa “agama. kita berlaku untuk kita, sedangkan kalau ada orang yang mau beragarna lain, kita memberi toleransi untuk itu” (Pro Flacco 28). Pada tahun 313 dalam Kerajaan Romawi, secara politis diterbitkan ‘Keputusan toleransi di Milano’ untuk membiarkan orang kristiani hidup di antara orang dengan agama romawi. Sejak abad ke-16 ada konsesi-konsesi dalam kekaisaran Romawi dan Jerman menyebabkan penyimpangan kultur atau politis dibiarkan. Misalnya, agama yang tidak sama dengan pimpinan negara. Sejak tahun 1689 di Inggris ada UU toleransi yang memberi tempat kepada ‘anggota masyarakat yang berbeda pendapat dengan kebanyakan warga masyarakat’. Pada 13 Oktober 1781 Kaisar Joseph Austria yang mayoritas penduduknya katolik mentoleransi orang yang beragama kalvinis, lutheran dan ortodoks untuk memiliki tanah serta, melaksanakan ibadat. Di negara itu pada 1782 diumumkan toleransi terhadap orang Yahudi yang nantinya dibatalkan Hitler.
Begitulah kita sudah melihat beberapa konteks pemberian toleransi. Tampak sekali bahwa toleransi mencakup spektrum pemahaman yang luas. Tidak hanya bidang politik, tetapi juga bidang sosial, ekonomi, teologi, bahkan juga medis dan teknis. Oleh sebab itu, diperlukan sikap hati-hati untuk memahami arti toleran. Dari lain sudut, spektrum pemahaman itu juga boleh meneguhkan bahwa toleransi itu sesuatu yang umum adanya dalam aneka bidang kehidupan manusia, walau sekarang sering toleransi hanya dipikirkan ada dalam dunia politik dan pergaulan kemasyarakatan luas.
Toleransi secara etimologis memang berasal dari kata tolerare yang berarti ‘menanggung’ atau ‘membiarkan’. Toleransi dapat mempunyai warna etis-sosial, religius, politis dan yuridis serta filosofis maupun teologis. Secara kasar toleransi menunjuk pada sikap membiarkan perbedaan pendapat dan perbedaan melaksanakan pendapat untuk beberapa lapisan hidup dalam satu komunitas. Pada umumnya arah pemahaman toleransi mencakup pendirian mengenai membiarkan berlakunya keyakinan atau norma atau nilai sampai ke sistem nilai pada level religius, sosial, etika politis, filosofis maupun tindakan-tindakan yang selaras dengan keyakinan tersebut di tengah mayoritas yang memiliki keyakinan lain dalam suatu masyarakat atau komunitas. Sejak jaman reformasi, hal itu berarti memberi kebebasan beragama dan melaksanakan suara hati serta kebebasan budaya kepada minoritas. Dalam dunia modern toleransi menyangkut hak azasi manusia. Dapat dibedakan toleransi formal (dalam hukum resmi) dan toleransi isi (dalam hidup harian menghargai keyakinan minoritas). Dalam jaman pencerahan toleransi dituntut untuk memungkinkan orang melaksanakan kebebasan berpikir dan berdemokrasi. Hal itu jaman sekarang diandaikan untuk memberi ruang pada perbedaan pendapat dan tawaran kebenaran serta kampanye norma yang ‘fair’ dalam ‘pasar pendapat dunia modern.
Ide dasarnya adalah bahwa tak ada manusia yang bisa memiliki kebenaran utuh maupun cara menemukan kebenaran secara sempurna. Sebab pencarian kebenaran diakui sebagai proses majemuk yang menyejarah, tidak sekali jadi. Selain itu toleransi diperlukan agar suara hati masing-masing orang dapat berfungsi secara wajar dan saling dihargai. Dalam masyarakat tertutup pun sesungguhnya toleransi diperlukan agar berlakunya norma umum (bukan keinginan seorang pemuka masyarakat) terjamin, seraya memungkinkan agar pendapat mayoritas berkembang demi keseimbangan masyarakat; di lain pihak diharapkan pula bahwa orang yang berbeda pendapat tidak ditindas dan didiskriminasikan. Dengan mekanisme tersebut toleransi menjarnin terjadinya saling komunikasi dan dapat diatasinya konflik batin maupun konflik sosial secara damai. Begitulah kemanusiaan dapat berkembang baik dalam komunitas yang sehat.
Tiadanya toleransi menyebabkan ‘yang kuat’ menang habis-habisan, sementara yang kalah hancur tanpa bekas. Dengan cara itu masyarakat rugi, karena benih-benih pendapat yang baru tumbuh dan belum kuat dapat hancur sebelum memperoleh kesempatan untuk dilaksanakan dan diuji oleh praksis. Dalam masyarakat demokratis, toleransi mutlak diperlukan bagi perkembangan berpikir secara kreatif dan aktif serta justru untuk memperkembangkan segala potensi masyarakat.
Pada umumnya manusia hidup dengan banyak toleransi: dalam keluarga, dalam kampung, dalam organisasi, dalam paguyuban beriman, dalam perusahaan, dalam pernerintahan. Dalam komunitas politik, dalam bidang-bidang nilai, toleransi secara mutlak diperlukan demi demokrasi. Namun toleransi memang membutuhkan batas. Batasnya adalah bahwa pelaksanaan toleransi tidak ‘mengganggu ketertiban umum’. Namun perlu juga disadari bahwa batas itu tidak jelas. Motivasi toleransi dalam komunitas politik adalah kesetaraan semua warga. Pluralisme menjadi landasan mutlak. Demi kedamaian yang sejajar. Maka toleransi diterima bukanlah karena indifferentnya negara terhadap perbedaan pendapat, namun bahwa negara berdiri di atas semua pendapat fragmentaris. Jadi dasarnya penghargaan terhadap hak azasi manusia dan pengharagaan pada hidup bersama yang damai. Jadi penilaian tinggi terhadap kebebasan dan kebenaran majemuk. Diharapkan bahwa toleransi meninggikan kemungkinan tercapainya kebenaran dan kesejahteraan yang lebih tinggi bagi lebih banyak anggota masyarakat.
Menciptakan kehidupan beragama yang baik bukanlah berdasarkan toleransi yang semu, yang mempunyai tendensi untuk mengatakan bahwa semua agama sama saja. Gereja Katolik tetap menghormati agama-agama yang lain, mengakui adanya unsur-unsur kebenaran di dalam agama-agama yang lain, namun tanpa perlu mengaburkan apa yang dipercayainya, yaitu sebagai Tubuh Mistik Kristus, di mana Kristus sendiri adalah Kepala-Nya. Oleh karena itu, Gereja Katolik tetap melakukan evangelisasi, baik dengan pengajaran maupun karya-karya kasih. Dengan kata lain, Gereja terus mewartakan Kristus dengan kata-kata dan juga dengan perbuatan kasih.
Konsili Vatikan II dalam Nostra Aetate mengatakan demikian :
“Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci di dalam agama-agama ini. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya.[4]
Maka Gereja mendorong para puteranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta perihidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta-kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka.”
Toleransi menjadi bermasalah ketika salah satu pihak merasa dalam posisi mutlak benar, khususnya karena ketentuan ilahi. Repotnya adalah bahwa toleransi diperlukan pada saat orang harus mewujudkan suatu yang tampaknya mutlak namun harus ditampakkan dalam kondisi terbatas. Kondisi terbatas itu dapat secara. mendasar berbatas atau secara insidental berbatas, misalnya tergantung situasi politik, sosial, ekonomis, budaya, psikhis atau biologis.
Pada lapisan teologis, ada dilema: di satu pihak ada tuntutan mencintai sesama secara. penuh dan mengasihi Allah tanpa batas, di lain pihak realitas manusia yang terbatas. Surat Paulus kepada umat di Roma bab 14 dan I Kor 8 menunjukkan bahwa Gereja Perdana mengakui kemungkinan toleransi pada orang-orang yang ‘lemah’ sehingga mempunyai pendapat atau praktik hidup yang tidak sama dengan ‘yang umum’. Cinta pada Tuhan (tanpa batas) dan cinta sesama meminta toleransi sampai batin. Meskipun begitu orang tetap mempunyai pegangan kebenaran (Ef 4: 15). Pada jaman Agustinus ada pergeseran walau Agustinus sendiri mengatakan: “orang tidak dipaksa beriman bila tidak mau sendiri” . Ketika orang mempunyai ajaran Gereja yang tegas, sehingga penyimpangan ajaran atau praktis jadi tampak dan tidak mudah ditolerir. Thomas Aquinas apakah ritus kafir ditolerir? mendekati hal itu. Thomas menyentuh soalnya dari sudut lain dengan mengatakan: “menerima iman itu bebas, namun melaksanakan apa yang sudah dipilih itu wajib”. Banyak kaisar kristiani menuntut agama sama; yang lain dilarang. Namun abad Pertengahan, bahkan ada toleransi terhadap orang Yahudi dan kafir, minimal secara teoritis. Datangnya intoleransi itu dari ketegasan ajaran dan ketertutupan, hidup monastik yang menjadi patokan hidup kristiani yang baik. Di dalamnya termasuk ide kekuasaan ilahi dan duniawi yang bersatu, dengan dasar ajaran yang sama. Orang waktu itu mentolerir orang beragama lain namun tidak mentolerir orang murtad. Dengan perpecahan Gereja toleransi jadi aktual kembali. Lama-lama orang agak acuh tak acuh dengan. iman dan sekularisme menguat sehingga toleransi jadi biasa. Indifferentisme sering mempengaruhi juga. 1689 di Inggris keluar ‘Act of Tolerance’ untuk orang beriman beraneka. H.G. Merabeau menegaskan kebebasan tanpa batas untuk beragama. Leo XIII mengungkapkannya dalam Ensiklik ‘Immortale Dei’ (1885) bahwa “orang tak mempunyai dasar untuk menentang toleransi atau secara. serampangan mendukung toleransi yang adil Surat Pius XII (17- 2 - 1950) menyebut mengenai kebebasan berpikir dalam Gereja Katolik. Di dalamnya termasuk termuat masalah kebebasan suara hati. Orang tak boleh dipaksa melawan suara hati.
Sesungguhnya iman akan penciptaan sendiri sudah membawa konsekuensi dilematis, sebab Allah yang mahakuasa membuat ciptaan yang mengambil bagian dalam hidup, kreativitas dan hidup kekalnya Yang Ilahi. Dengan demikian kepada manusia diberikan kesempatan untuk memilih akan berbuat baik dan memihak Allah, ataukah berbuat jahat dan menolak Allah. Dengan demikian, kemungkinan bahwa melakukan dosa dan kejahatan (jadi “menolak Allah”) itu memang ditolerir Allah yang mahabaik, atas dasar cintanya kepada kebebasan manusia. Sebab hanya dengan kebebasan itulah manusia pantas menjadi ciptaan Allah. Bahwa terbuka kernungkinan manusia memilih menolak Tuhan, itu risiko yang diambil Tuhan dengan menciptakan manusia berbudi.
Allah masih meneruskan cinta-Nya. Ia mengirim Anak-Nya jadi manusia (Fil 2: 1-11). Dengan begitu sekali lagi terjadi toleransi dari yang Mahabesar pada yang berbatas. Sebab penjelmaan memaksa Putra untuk hidup dalam keterbatasan biologis, historis, budaya, psikologis dan spiritual. Namun sebaliknya juga harus dikatakan bahwa justru dengan cara itulah manusia ditebus. Dengan kata lain, penebusan terjadi lewat kesediaan Allah memberi toleransi kepada manusia untuk memilih berbuat kejahatan dan kedosaan daripada selalu berbuat baik.
Injil Luk 16: 1-8, maka beranilah kita berkata bahwa adalah sesuatu yang tidak tahu diri kalau manusia tidak mau memberi toleransi kepada manusia lain; juga orang lain yang lebih kecil atau lebih lemah. Sebab Allah begitu rela berbesar hati terhadap manusia yang penuh kesalahan dan dosa. Dengan kata lain, kalau manusia mau memberi toleransi kepada orang atau kelompok lain hanya masalah realisasi: bahwa manusia mengakui dirinya sudah diberi toleransi oleh Tuhan. Dengan latar belakang itu, toleransi bukanlah jasa manusia melainkan kewajiban manusia.
Dalam konteks itu dapatlah kita lebih memahami Konsili Vatikan II yang mendukung kebebasan beragama dan suara hati. Sebab “Dignitatis Humanae” menunjukkan kebesaran hati mentoleransi pendapat dan keyakinan lain bahwa tugas-tugas itu menyangkut serta mengikat suara hati, dan bahwa kebenaran itu sendiri, yang merasuki akal budi secara halus dan kuat. Adapun kebebasan beragama, yang termasuk hak manusia dalam menunaikan tugas berbakti kepada Allah, menyangkut kekebalan terhadap paksaan dalam masyarakat. Kebebasan itu sama sekali tidak mengurangi ajaran katolik tradisional tentang kewajiban moral manusia dan masyarakat terhadap agama yang benar dan satu-satunya Gereja Kristus. Selain itu dalam menguraikan kebebasan beragama Konsili suci bermaksud mengembangkan ajaran para paus akhir-akhir ini tentang hak-hak pribadi manusia yang tidak dapat di ganggu-gugat, pun juga tentang penataan yuridis masyarakat.
. Maka juga toleransi. Paus Yohannes XXIII dalam Pacem in Terris (no. 14) menunjukkan sikap positif juga terhadap toleransi. Toleransi didukung oleh pendirian bahwa pada kodratnya semua manusia itu sama. Deklarasi Hak-hak Azasi Manusia mengungkapkan seluruh sikap itu dalam rangakaian satu sama lain, yang secara berangsur-angsur dilengkapi: bahwa dari alasan kodratinya semua manusia hanya mempunyai pilihan untuk mentoleransi pendirian dan praktik hidup, satu sama lain. Sebab setiap manusia, dari kodratnya sendiri, memang setara. Maka tidak ada alasan bahwa orang satu tidak mentoleransi orang lain.
Kontipendium Ajaran Sosial Gereja juga melarang kekerasan atas nama agama dengan menyatakan : Tindak kekerasan tidak pernah menjadi tanggapan yang benar. Dengan keyakinan akan imannya di dalam Kristus dan dengan kesadaran akan misinya, Gereja mewartakan “bahwa tindak kekerasan adalah kejahatan, bahwa tindak kekerasan tidak dapat diterima sebagai suatu jalan keluar atas masalah, bahwa tindak kekerasan tidak layak bagi manusia. Tindak kekerasan adalah sebuah dusta, karena ia bertentangan dengan kebenaran iman kita, kebenaran tentang kemanusiaan kita. Tindak kekerasan justru merusakkan apa yang diklaim dibelanya: martabat, kehidupan, kebebasan manusia.
Kalau kita mau sempurna, tentu tidak puas dengan hanya bersikap toleran. Kalau kita mau realistis, mungkin malah harus belajar toleran. Sebab, jangankan mau sempurna mencintai sesama seperti diri sendiri, toleran pada sesama pun kita belum tentu dapat.
Gereja Katolik Menanggapi Stigma Kristenisasi?
Dalam tulisannya berjudul “Gereja dan Reformasi” A.A Yewangoe menyatakan bahwa kaum Nasrani masih banyak yang menanggung beban sejarah masa lampau, yakni stigma bahwa kekristenan adalah agama asing, hanya karena kedatangan para misionaris dari barat itu bersamaan dengan datangnya kolonialisme dan imperialisme barat. Bisa dibuktikan bahwa walaupun kedatangan para misionaris bersamaan dengan tibanya para penjajah, mereka (misionaris) mempunyai penampilan yang lain sama sekali. Malah bisa ditunjukkan bahwa pekerjaan para misionaris justru dihalang-halangi oleh pemerintah kolonial itu. Jadi harus diteriakkan sekuat-kuatnya bahwa kekristenan adalah agama yang sah di republik ini, seperti halnya juga agama-agama yang lain. Nah yang menjadi akar permasalahannya ketika kepentingan berbagai agama bertemu dalam lapisan masyarakat distorsi bisa saja acap kali terjadi. Pembenaran-pembenaran atas nama agama dan menggunakan dalil tersebut untuk bisa melakukan kekerasan atas nama agama.
Masing-masing pihak tetap berpegang teguh pada konsepsi teologisnya masing-masing beserta aplikasinya dilapangan serta menolak tanpa bersikap munafik terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang disahkan di Indonesia; Masing-masing pihak menjadi sekular dan liberal dengan meninggalkan konsepsi teologisnya masing-masing. Agama dianggap sebagi sumber konflik; Masing-masing pihak bersepakat untuk mencari titik temu dibidang sosial kemasyarakatan dan kenegaraan tanpa mengutak-atik konsep teologis yang dianggap baku.
Apa pun kenyataan yang ada, komunikasi perlu terus dijalin melalui berbagi forum komunikasi antar umat beragama. Bangsa Indonesia membutuhkan munculnya kepemimpinan yang baik, pemimpin yang memberikan teladan hidup dan sanggup mengayomi serta memberikan jalan keluar dari krisis yang dihadapi bangsa; pemimpin yang kuat yang dihormati dan disegani; pemimpin yang cerdas, jujur, amanah, dan dapat berkomunikasi dengan baik; pemimpin yang mampu mengatur dan mampu menyelesaikan berbagai konflik yang ada di tengah masyarakat; pemimpin yang mampu menjadi perekat antar komponen bangsa yang mungkin bertentangan satu dengan lainnya.
Dalam konsep pemikiran saya sebagai salah satu anggota gereja. Yesus Kristus yang saya imani di dorong oleh cinta kasih memberi dan menawarkan keselamatan dan tidak pernah memaksa. Tugas gereja adalah mengabarkan keselamatan bukan mengkristenkan orang. Dan orang-orang beragama pun harus bersaksi dalam hidupnya melalui kata-kata dan perbuatan dan keteladanan. Dan biarlah orang-orang yang melihat mempertimbangkan dan mengambil keputusan atas apa yang didengar dan disaksikannya. Sebenarnya salah satu yang membuat masalah semakin besar antara Kristen dan agama yang lain adalah: kita semua terlalu arogan dengan pemahaman agama yang kita miliki, seolah-olah kita sudah memahami semua maksud dan kehendak Tuhan, tidak takut-takut kita mau saling mencemooh, merendahkan kitab suci dan isi ajarannya, tanpa memahami betul ajaran tersebut. Kita terlalu suka menggeneralisasi akan suatu hal. Seperti halnya berbagai kasus yang diangkat dalam berbagai berita yang provokatif banyak hal yang terlalu digeneralisir mengenai sikap-sikap dan tindakan kekristenan yang dikutip dari sebagian topik lalu mengangkatnya menjadi penyebab utama.
Jadi, kehidupan beragama yang baik, hanya dapat terlaksana jika terjadi suasana dan lingkungan yang memberikan kebebasan beragama dan setiap umat dapat melaksanakan agama masing-masing dengan bijaksana. Pada saat yang bersamaan, maka umat Katolik juga harus tetap berakar pada doktrin yang kuat, serta bijaksana dalam proses evangelisasi. Evangelisasi yang paling efektif adalah dengan memberikan kesaksian akan Kristus dalam kehidupan sehari-hari, yaitu dalam perjuangan untuk hidup kudus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar