Kamis, 11 Desember 2014

Memaknai Natal: Sebuah Refleksi (bag.1)

BERNARDUS - Tempat kediaman ratu Inggris di musim dingin adalah Istana Balmoral di Skotlandia.  Ketika Ratu Viktoria ada di sana, kadang-kadang ia berjalan-jalan di luar benteng istana dengan
mengenakan pakaian usang. Pengawalnya, Jhon Brown, mengikutinya. Ketika ia turun ke jalan, ia menghampiri sekawanan domba gembalaan yang digembalakan oleh seorang anak laki-laki. Anak itu meneriakinya, katanya: “Menyingkirlah kamu wanita tua yang dungu!” Sang ratu tersenyum dan tidak mengatakan sesuatu pun. Beberapa saat kemudian, pengawalnya menghampiri anak laki-laki itu dan membentaknya, “Diam, itu adalah sang ratu!” “Ya…” kata anak laki-laki itu, “Wanita berpakaian seperti itu adalah seorang ratu!”

Titik Alfa dan Omega

Dalam keseharian, kita mengenal garis-garis batas—seperti di dalam dunia olahraga sprint, ada batas start dan batas finis. Semua sprinter harus mencermati garis-garis batas tersebut agar mereka bisa mengatur staminanya untuk menempuh jarak yang mau dituju. Dalam dunia filsafat—seperti Filsafat Proses, rintisan Teilhard de Chardin, dan lebih jelas lagi dalam dunia teologi Kristen—kita mengenal adanya prinsip: Alfa dan Omega. Singkatnya, mau dikatakan bahwa sebagai Pencipta, Allah adalah awal proses perkembangan (Alfa) sekaligus juga akhir (Omega) karena seluruh rangkaian dinamika dunia harus menuju kepada persatuan dengan-Nya. Jadi, proses evolusi dunia dan sejarah umat manusia berjalan ke arah dan tujuan yang sama, yaitu titik omega di mana Allah menjadi semua di dalam semua. Pada saat itu, semua bangsa, budaya, negara, suku, dan agama akan bersatu padu.

Wahyu Yohanes 22:13 menegaskan: “Aku adalah Alfa dan Omega, Yang pertama dan Yang terkemudian, Yang awal dan Yang akhir. Firman, Yesus adalah awal bagi segala yang ada, prinsip kristen dan iman kita. Titik Alfa itu tidak lain tidak bukan adalah sebuah titik awali atau saya menyebutnya sebagai starting point. Ia merupakan awal dan sumber bagi semua yang ada, hidup, dan bergerak. Ia ada dalam keabadian, kekal, dan selamanya. Eksistensinya tanpa causa. “Aku adalah Aku” (dalam bahasa Latin: Ego sum qui Sum), demikian jawab Allah kepada Musa yang mempertanyakan “nama dan identitas” Yahwe (bdk. Kel 3:14). Dan, jauh setelah itu Santo Agustinus, dalam refleksi teologisnya, menyebut bahwa Dia itu Causa Prima dari segala sesuatu yang memenuhi langit dan bumi dan yang bergerak. Dia itu namanya KASIH. Saya menegaskannya bahwa Titik Alfa (starting pont) itu adalah Kasih. Dia bersinggasana dalam semarak keagungan-Nya. Kudus dan sangat terhormat. Dia sangat berkuasa dan melingkupi hidup semua yang diciptakan dengan dan dalam kasih-Nya. Lebih akrab dalam kedalaman nurani dan keimanan, kita menyebut-Nya Allah. Dan, Allah adalah Kasih. Semua noda dosa, cacat-cela dibalutinya dengan kasih dan kerahiman. Segala ciptaan-Nya diarahkan kepada kebahagiaan dalam sebuah mekanisme partisipasi yang tentunya dikuatkan dan disempurnakan oleh rahmat-Nya sebagai bagian dari penyelenggaraan-Nya yang sungguh ilahi. Ini terjadi karena Dia itu Kasih, Hidup, dan berkuasa. Ia menciptakan-mengadakan, menghidupkan dan menggerakan yang lain. Dan, itu termasuk manusia sebagai mahkota ciptaan-Nya. Manusia diciptakan secitra dengan-Nya. Dia menguasai semuanya dan menyelenggarakan secara terus-menerus kelangsungan hidup dalam kasih seturut kehendak-Nya. Manusia diberikan kuasa berpartisipasi memperbarui dunia. Manusia diceburkan dalam kebebasan di mana hak dan kewajiban menjadi bagian integral dari jati dirinya sambil memperhitungkan moral dan etika dalam relasinya dengan yang lain demi sebuah bonum communae.

Dalam kisah penciptaan alam semesta, panggilan Abraham dan pemilihan bangsa Israel menjadi bangsa pilihan-Nya tercatat dengan tinta emas di dalam sebuah lembaran perjanjian yang sudah menyejarah sejalan dengan penyelenggaraan Allah sendiri. Terjalin dalam kasih sebuah relasi antara Allah dan umat pilihan-Nya yang melahirkan konsekuensi dalam hubungan: Allah menjadi Bapa bangsa Israel, dan sebaliknya bangsa Israel menjadi anak-anak-Nya (bdk. Kel 20:1-17). Sebuah relasi Bapa-Anak. Kesetian dan hormat dirangkum dalam cinta, dan itu menjadi pegangan bersama.  Ada kasih dan kehidupan di dalamnya. Relasi itu dijiwai oleh Roh dan Kebenaran dalam Cinta Kasih. Terbentuklah sejarah milik bersama, yakni sejarah keselamatan di mana terlihat inisiatif kepedulian dan belarasa Allah terhadap umat manusia. Dan, ini terus berlangsung karena kasih setia Allah sendiri.

Allah adalah kasih (1Yoh 4:8.16). Hakikat dan kodrat Allah adalah kasih, maka seluruh keberpihakan kepada manusia dalam hidup ini didasarkan pada cinta kasih. Allah mengasihi kita apa adanya dan menghendaki yang terbaik bagi kita sesuai dengan rancangan dan rencana-Nya. Cinta Allah itu nyata dan tidak terbatas. Muatannya tentu tidak lain adalah cinta kasih itu sendiri yang tetap dan selalu up to date. Artinya, kita bisa mengalami cinta-Nya dalam lingkup hidup kita yang beragam dimensi. Dan, Cinta itu tidak terbingkai oleh batas ruang dan waktu karena dia itu di atas segalanya. Kita merindukan-Nya, mengharapkan-Nya, dan berusaha walau dengan jatuh bangun  mengimani dan mempercayakan hidup kita sepenuhnya hanya kepada-Nya. Iman kita kepada-Nya senantiasa kita hayati dan selalu berupaya menghidupkannya. Kekuatan Kasih sungguh dahsyat karena walau menakutkan (tremendum), namun sekaligus memikat (fascinosum), malahan mendamaikan dan menyenangkan. Itulah sukacita di dalam pegalaman akan Cinta Kasih itu.

Kitab Kidung Agung dalam kedelapan babnya, melukiskan kedahsyatan Cinta Tuhan kepada umat-Nya. Cinta-Nya membuat Tuhan membuat apa saja bagi kita umat-Nya. Sementara itu, Rasul Paulus menyuarakan kebenaran profetis tentang cinta kasih itu.  Jika tanpa cinta aku bukan apa-apa; aku bagai gong yang gemerincing; tiada bermakna apa-apa. Bagi Paulus, Cinta adalah Tuhan sendiri. Dari dan oleh-Nya Paulus menemukan makna hidupnya. Tanpa cinta berarti tanpa Tuhan. Tidak mencintai sama dengan menyangkal Tuhan. Tanpa cinta hidup kita pun tidak bermakna. Kelahiran menjadi sebuah malapetaka dan kematian menjadi sebuah kebinasaan. Dalam dan dengan cinta, semuanya menjadi indah dan bermakna pada waktunya. Allah menuntun manusia masuk di dalam samudera makna yang diberikan-Nya sendiri sejak awal mula. Awal dalam sejarah adalah Pewahyuan Yesus yang menjelma.

Penginjil Yohanes menulis: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah” (Yoh 1:1-2). Kembali kepada keseharian di tengah dunia. Yang dikatakan dan sering didengar adalah “mulanya biasa saja”. Kita hidup dalam kondisi apa adanya. Tetapi, ini bukan sebuah takdir, bukan pula sebuah nasib. Kita meyakini bahwa hidup kita selalu dalam penyelenggaraan Tuhan. Hidup kita ada dalam tangan kasih Tuhan. Ia membingkai hidup kita. Penginjil Yohanes menunjukkan kepada kita bahwa “pada mulanya adalah Firman”. Dalam alur refleksi ini, kita semua seakan-akan berada di serambi depan Prolog Injil Yohanes. Sebelum dia mengajak kita memasuki ruang Injilnya, kita diminta masuk dalam “hadirat Allah” yang mengagumkan. Kita perlu menyadari bahwa jauh sebelum terciptanya segala sesuatu yang ada, hanya ada suatu “keabadiaan”. “Pada mulanya” berarti juga awal dalam waktu, tetapi lebih hakiki, lebih mendalam “pada hakikatnya”. Yang ada di dalam keabadiaan itu adalah Firman. Keheningan dalam imanlah yang kita andalkan agar memampukan kita mengalami dan merasakan “Keabadian” Titik Alfa itu dan coba mendaraskan sabda ini dalam hati. Terasa gema dan gaung suara Penginjil ketika sabda yang sama diucapkannya dan menjadikan itu sebagai sebuah warisan iman bagi kita, maka ditulisnya di jenang pintu pondok Prolog Injilnya.

Sekali lagi kita mau merasakan bagaimana Rasul Yohanes mengungkapkan sebuah pilar iman yang mendalam dan berakar, yang tentunya itu merupakan pula sebuah kesaksian imannya yang tertuang dan terbaca di dalam Prolog itu sendiri (lih. Yoh 1:1-18). Maka, Prolog yang sarat makna dan pesan ini berperan sebagai “pembukaan” dari seluruh Injil. Makna dan pesan terbingkai dalam etalase butir-butir iman akan Allah dan Sabda (Kebijaksanaan) yang adalah isi Injil yang dilukiskannya secara puitis. Inilah sebuah hasil kontemplasi penginjil akan Firman itu. Penegasan iman inilah yang mengawali seluruh proses penulisan tentang Allah dan Sabda yang kekal dan abadi.

Yesus sebagai Sabda ada pada awal mula, dari keabadian, artinya kehadiran abadi Sabda dalam Allah. Sang Sabda berada dalam keadaan-Nya yang absolut dan kekal. Pada awal mula, sebelum segala sesuatu ada, Persekutuan (Communio) sudah ada, yaitu antara Allah dan Sabda (Logos) dan Pribadi Ketiga Tritunggal Maha Kudus. Persekutuan Ilahi ini—dalam satu kesatuannya dan secara bersama—memiliki kuasa dan daya untuk menciptakan, mengubah, dan memperbarui. Alur kasih dan kuasa persekutuan ilahi terbaca dengan iman dalam sejarah keselamatan umat manusia.

Kontemplasi Penginjil Yohanes akan Logos, membuka mata iman kita untuk melihat dalam kedalamannya “the right place of Logos” dalam misteri persekutuan ilahi itu dan sejauh Dia (Yesus) berhubungan dengan sejarah keselamatan manusia. Yesus memperkenalkan Diri-Nya  sebagai Anak Tunggal Bapa. Hanya Dialah yang dapat memberikan kesaksian siapakah Allah karena Dia mengenal Allah secara sempurna, telah melihat Allah, berada bersama Allah dan ada dalam Allah. Hanya Dialah yang menunjukan jalan menuju kesatuan dengan Allah. Yohanes mengutip kata-kata Yesus: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14:6). Yesus adalah Anak yang mengenal Allah, Bapa-Nya. Dia berasal dari Allah. Dilahirkan dari Allah dengan kuasa Roh Kudus. Dalam Allah, Yesus hidup dan tinggal karena Allah Bapa adalah Sumber Hidup. Yesus datang dari Allah dan kembali kepada Allah. Dan melalui Anak (Yesus) berasal segala kehidupan dan seluruh ciptaan. Melalui Anak kita semua dituntun masuk ke dalam Allah dan menjadi anak-anak-Nya.Sabda merupakan penggerak ciptaan dan pendorong segala kegiatan.  Dengan demikian, kita dapat melihat sebuah hasil kontemplasi Penginjil Yohanes mengenai asal-usul ilahi dari Yesus, sang Sabda. Yesus sungguh Allah. Di sinilah, pada titik ini, kita berhenti menarik napas, membuat jeda, sebelum kita melanjutkan Lectio Divina tentang “gerak bersama” ketiga Pribadi Ilahi dalam persekutuan ilahi, yang tidak tinggal diam ketika manusia itu terjebak dalam perangkap kuasa Iblis dan jatuh dalam dosa, tetapi malah memulai bersama sebuah proses karya mahaagung: Karya Keselamatan melalui Peristiwa Natal.

Dengan demikian kita membaca dalam Prolog yang sama: “Firman/Sabda itu datang menjadi manusia dan tinggal di antara kita” (Yoh 1:14). Bertolak dari alur kisah tersebut di atas, di mana Ratu Inggris, Ratu Elisabeth, meninggalkan istananya (sebagai lambang kesemarakan, kekuasaan dan kemapanan), dia mengenakan pakaian sederhana seakan-akan menyamar menjadi anggota masyarakat  biasa dan berjalan-jalan di jalan publik.  Firman yang menyatu dengan Allah, pemberi arti hidup manusia, dasar dan tujuan kegiatan manusia, pada satu saat dalam sejarah manusia menjelma, atau menurut teks kutipan kita dari Prolog Injil Yohanes tersebut “Firman menjadi daging” (Yoh 1:14), kini ia memasuki tahap menentukan, menjadi manusia, berada dalam waktu dan sejarah umat manusia. “Menjadi daging” berarti, mengambil kodrat manusia dalam kelemahan dan kerapuhan; dan “diam di antara kita”, maksudnya sejak saat itu Yesus manusia menjadi tempat hadirnya Allah. Meminjam istilah Thomas Aquinas, De Deo Incarnato ‘Allah yang menjelma’.

Penginjil Yohanes, khususnya dalam prolog 1:14 seperti yang terkutip di atas, bermaksud memperlihatkan asal-usul manusiawi Yesus. Tindakan Ratu Elisabeth membantu kita mencermati dengan mata iman peristiwa Inkarnasi: Allah menjadi manusia. Dalam rahim Bunda Maria, Sang Sabda menjadi manusia oleh kuasa Roh Kudus. Rahim Bunda Maria merupakan terminal-Nya. Gagasan Sabda/kebijaksanaan dipersonifikasikan. Maka, pada suatu saat dan tempat tertentu di bumi ini, menurut waktu, rencana dan rancangan Allah sendiri, Sabda telah menjadi manusia (kata manusia boleh dibaca daging (sarx, bahasa Yunani). Maksudnya Sabda itu benar-benar menjadi manusia. Yesus sungguh manusia. Yesus yang adalah Allah dan manusia masuk dalam sejarah umat manusia pada umumnya dan dalam sejarah keselamatan umat manusia pada khususnya. Yesus datang ke dunia dan menyejarah bersama manusia dan menjelmakan kita menjadi anak-anak Allah. Yesus masuk ke dalam dunia dan sejarah kita dan “tinggal di antara kita”, karena sama-sama manusia, kecuali dalam hal dosa, karena Yesus itu Allah—manusia yang suci murni. Yesus berdiam atau berkemah di antara kita mau menunjukkan kehadiran Allah di tengah umat-Nya di kemah suci (Kel 25:8-9; Zak 2:10). Allah yang jauh di dalam keabadiaan-Nya, kini menjadi dekat dengan manusia yang secitra dengan-Nya ketika diciptakan oleh-Nya sendiri.

Dalam prolog Yohanes 1:14, mau menunjukkan dan meyakini kita melalui pewartaan dan kesaksiannya yang tertulis bahwa Yesus adalah kemah Allah yang baru maksudnya Yesus menjadi tempat kediaman Allah dalam arti sepenuhnya maka Yesus adalah bait Allah yang sejati, tempat manusia dapat berjumpa dengan Allah. Yesus dimaklumkan sebagai Kasih Allah yang boleh dilihat, dialami dan dirasakan melalui karya penyelamatan yang dikerjakan oleh Yesus sendiri. Dengan kehadiran Yesus ini kita sungguh percaya kepada Allah karena Dia teguh dan setia dalam janji-Nya. Yesus adalah pewahyuan diri Bapa secara sempurnah kepada manusia karena Dia sendiri adalah Putera Allah yang sejak kekal ada bersama Allah. Kebenaran ini terungkap dalam sabda Yesus sendiri:  “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa!” (Yoh 14:9). Lagi pula “Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku. Sekarang ini kamu mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia.” (Yoh 14:7). Sekali lagi saya menggarisbawahi bahwa kedatangan Yesus ke dunia, dan menyejarah bersama manusia di dalam sejarah umat manusia mengubah paradigma tentang konsep Allah yang “jauh dan menakutkan.” Yesus sungguh mewahyukan Allah kepada kita. Allah itu sesungguhnya Kasih dan Hidup. Allah menyejarah bersama kita umat-Nya. Sabda menjadi manusia, personifikasi yang terarah kepada Yesus sebagai “komunikasi diri Allah”. Sabda yang menyatakan diri Allah. Seluruh perjanjian Baru, khususnya Injil sinoptik dan Injil Yohanes menekankan “komunikasi diri atau pewahyuan diri Allah”. Allah berbicara dalam diri/melalui Yesus dan menyatakan diriNya sepenuhnya kepada kita manusia. Pernyataan diri atau Firman Allah sudah ada pada Allah dari kekal, sebelum penciptaan langit dan bumi serta segala isinya dan menjelma dalam diri Yesus. Sabda yang menjelma menjadi daging, sarx. Maka, Sabda itu dapat menyatakan Allah dalam bahasa dan kenyataan hidup yang dapat ditanggap manusia. Firman menjadi shekinah (kehadiran Allah) di tengah umat. Kemah kehadiran Allah yang baru ialah Sabda yang menjelma dalam Yesus (bdk. Yoh 2:19-22).

Dari alur penelusuran di atas, kita boleh melihat akibat dari penjelmaan itu atau “Sabda menjadi manusia”. Butir pertama yang kita pegang adalah bahwa Yesus memperlihatkan wajah Bapa. Di sini sekali lagi ditegaskan bahwa tidak hanya kata-kata-Nya melainkan pribadinya menunjukkan Allah. Hal ini diungkapkan Musa dalam Mazmur: “Buatlah kami melihat wajah Allah”. Yesus adalah kehadiran Allah; dia (Yesus) tidak hanya lahir tetapi “menjadi daging.” Inilah penjelmaan Allah terdalam. Butir yang kedua, penjelmaan itu pula mau menegaskan bahwa setiap sikap Yesus mewahyukan Bapa. Kita ingat akan karya pelayanan Yesus di tengah umat-Nya. Dan lebih lagi, sebagai butir yang ketiga, Yesus menjadi manusia untuk setiap kita secara pribadi. Yesus ada untuk kita manusia. Yesus menyingkapkan kebenaran bahwa setiap kita dikasihi Allah, betapapun gelap situasi, atau beratnya masalah, atau pula beban hidup yang dihadapi. Penjelmaan-Nya menyapa setiap kita. Butir lain yang disingkapkan melalui penjelmaan ini bahwa manusia menemukan arti sejarahnya. “Menjadi manusia” artinya Yesus terlibat dalam peziarahan umat manusia dan malah menjadi “Aktor Utama Pelaksana” dalam Sejarah Keselamatan umat manusia, dengan sebuah gerak lurus dari Allah dan menuju kembali ke Allah. Dan, ini merupakan perencanaan Allah. Akhirnya, dalam penjelmaan itu, Yesus menyatakan kehadiran Allah secara istimewa. Dalam Yesus, Allah menyatakan siapa Dia sebenarnya, yakni Allah Kasih, Persatuan, dan Hidup.

Dari semua penjelasan di atas kita melihat karya Allah menyatakan Diri-Nya dan Kasih-Nya kepada manusia. Tindakan penyataan diri Allah ini kita temukan secara utuh di dalam diri Sabda menjadi manusia, yaitu Yesus sendiri. “Menjadi manusia” menjadi sebuah langkah nyata Allah melalui mana manusia menerima Yesus sebagai satu di antara manusia, satu di antara kita dan juga menjembatani ke-Allahan Allah yang mencintai, menghidupkan dan membimbing manusia. Yesus: Allah dan manusia tinggal di antara kita. Seperti Penginjil Yohanes (Prolog 1:14), demikian pula Penginjil-penginjil sinoptik, menampilkan dimensi kemanusiaan Yesus khususnya asal-usul manusiawi Yesus” seperti yang terbaca dalam sejumlah perikop Injil. Lebih lanjut kita lihat kutipan-kutipan berikut:

Injil Matius berkisah tentang Silsilah Yesus Kristus (1:17) dan Kelahiran Yesus Kristus (1:18-25), lagi pula, Injil Lukas menulis tentang Pemberitahuan tentang Kelahiran Yesus (1:26-38), tentang Kelahiran Yesus (2:8-20), juga tentang Silsilah Yesus (3:23-38).

Penginjil-penginjil sinoptik, khususnya dengan semua kutipan di atas, bermaksud memperlihatkan asal-usul manusiawi Yesus. Kita arahkan penelusuran kita tentang  kutipan-kutipan tersebut.

Yang pertama, tentang “Silsilah Yesus Kristus” (Mat 1:17; Luk 3:23-38). Ada pesan pewartaan di balik catatan tentang Silsilah Yesus. Penginjil Lukas memperlihatkan bahwa Yesus: Anak Allah, Anak Manusia. Makanya setelah Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis di sungai Yordan, Penginjil menyisipkan Silsilah Yesus dalam cerita perikop ini. Dengan maksud menekankan pentingannya pengurapan Yesus oleh kuasa Roh Kudus pada saat dipermandikan. Daftar silsilah Yesus dari Lukas terlihat ada perbedaan dengan yang ditulis oleh Matius. Tanpa bermaksud mencermati perbedaan itu, kita hanya mau melihat bahwa Lukas menulis Injilnya untuk komunitas pembacanya: bangsa-bangsa lain, dengan penekanan bahwa Yesus membawa keselamatan bagi semua anak-anak  Adam. Lukas menekankan makna universal dengan melacak garis ketuturnan Yesus mulai dari Yusuf sampai Adam bahkan dalam ayat 38 tertulis “...anak Allah.” Di seputar kisah tentang silsilah Yesus ini ada sejumlah rincian biografis yang tentunya menarik perhatian kita tetapi sebenarnya tidak relevan untuk dianalisakan dalam konteks refleksi singkat ini. Yang jelasnya, dalam menulis garis keturunan Yesus, Lukas melacak nenek moyang Yesus mulai dari asal-usul keallahan Yesus dan turun ke Adam sampai pada Yusuf.  Sementara itu, Penginjil Matius menulis dan menempatkan kisah tentang silsilah Yesus ini pada awal Injilnya. Dia menulis: “Inilah silsilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham (Mat 1:1). Yesus ditempatkannya dalam tradisi Yahudi. Matius memulai narasi itu  dari Abraham sampai Daud bahkan garis keturunan itu berkelanjutan sampai sesudah pembuangan tahun 587 SM. Matius bermaksud memperlihatkan posisi dan kedudukan Yesus sebagai orang Yahudi. Perlu juga kita ketahui bahwa komunitas pembaca Matius adalah Kristen-Yahudi. Maka di dalam kerangka besar penulisan silsilah ini, penginjil berusaha meletakan asal-usul Yesus dari Nazaret dalam pewarisan umat pilihan Allah, bangsa Israel, sehingga bisa terbaca bahwa sejarah Israel dimulai dari Abraham dan memuncak pada masa Raja Daud dan setelah melewati masa pembuangan di Babel tercapailah kepenuhannya di dalam diri Yesus Mesias. Singkat kata, Penginjil Matius menggarisbawahi dua aspek penting dari silsilah Yesus ini yaitu penekanan pada kesinambungan Yesus dengan tokoh-tokoh besar umat Allah (Anak Abraham...Anak Daud) dan juga mempersiapkan kisah kelahiran Yesus dengan hal-hal yang luar biasa dan unik yang terjadi di seputar kisah kelahiran tersebut. Maka jelas, sebagai kesimpulan bahwa kedua Penginjil Penulis silsilah ini melacak nenek moyang Yesus melalui dan sampai pada Yusuf, ayah Yesus yang sah menurut hukum.

Yang kedua, tentang pemberitahuan tentang kelahiran Yesus (Luk 1:26-38 ) dan Kelahiran Yesus itu sendiri menurut Matius dan Lukas (Mat 1:18-25; Luk 2:8-20). Menyoroti soal pemberitahuan tentang kelahiran Yesus, penginjil Lukas melukiskannya dengan sangat indah. Sebuah perlukisan yang ditempatkannya dalam konteks  waktu, tempat dan penampilan tokoh-tokoh penting yang berperan di dalam kisah dialog tersebut. Maksudnya pemberitahuan yang terjadi pada bulan yang keenam, di sebuah kota di Galilea yang disebut Nazaret. Aktor utama dalam panggung dan pemberitahuan ini, antara lain: Allah sendiri, Malaikat Gabriel, Perawan Maria yang bertunangan dengan Yosef dari keluarga Daud. Yang terpenting di sini terlihat adanya inisiatif Ilahi, yakni dari Allah sendiri, keterlibatan Gabriel sebagai utusan Allah, dan Perawan Maria yang kepadanya disampaikan pesan Allah menyangkut kelahiran Sang Mesias. Maria menjadi tokoh yang penting dalam proses bagaimana Allah mau mewujudkan karya keselamatan bagi umat manusia. Kisah dialog itu ditutup dengan fiat Perawan Maria: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Dari fiat Perawan Maria ini kita menemukan bagaimana Perawan Maria memosisikan dirinya sebagai hamba Tuhan dan sikap pasrahnya kepada rencana Tuhan yang disampaikan kepadanya. Katanya “...jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Di balik fiat Maria itu ada nilai-nilai teramat luhur yang menjadi muatannya adalah iman Maria dan kesediaannya menerima dan melaksanakan kehendak Tuhan. Maksudnya dalam sebuah kepasrahan yang total yang dibangunnya atas dasar imannya kepada Tuhan. Perawan Maria memberi diri sebagai sebuah bentuk partisipasinya dalam perwujudan rencana Allah bagi dunia dan manusia itu. (...bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar