BERNARDUS - (lanjutan bag.1) Selanjutnya menyangkut kelahiran Yesus itu sendiri. Dikisahkan oleh kedua penginjil, Matius dan Lukas. Matius menulis: “Ia akan melahirkan anak laki-laki... (Mat 1:21)
dan lebih lanjut, pada ayat terakhir dari perikop ini, Mathius manulis: “...sampai ia melahirkan anaknya laik-laki...”(Mat 1:25). Sementara itu Lukas mencatat dalam kisah kelahiran Yesus “dan ia melahirkan seorang anak laki-laki...” (Luk 2:7). Fakta kelahiran melingkupi hidup Yesus dan fakta dilahirkan menandakan dimensi kemanusiaan Yesus. Bahwa Yesus sungguh-sungguh dilahirkan; seperti kata Yohanes “Sabda menjadi manusia.” Perkandungan Yesus dalam rahim Perawan Maria oleh karena kuasa Roh Kudus. Yesus dilahirkan oleh Perawan Maria. Teks-teks tentang kelahiran Yesus itu bermaksud menempatkan Yesus secara tegas di tengah umat manusia; Yesus mengalami lingkaran kehidupan dan kematian sebagai manusia, seperti yang dialami oleh manusia pada umumnya. Yesus: Allah dan manusia tinggal di antara kita. Itulah Yesus historis.
dan lebih lanjut, pada ayat terakhir dari perikop ini, Mathius manulis: “...sampai ia melahirkan anaknya laik-laki...”(Mat 1:25). Sementara itu Lukas mencatat dalam kisah kelahiran Yesus “dan ia melahirkan seorang anak laki-laki...” (Luk 2:7). Fakta kelahiran melingkupi hidup Yesus dan fakta dilahirkan menandakan dimensi kemanusiaan Yesus. Bahwa Yesus sungguh-sungguh dilahirkan; seperti kata Yohanes “Sabda menjadi manusia.” Perkandungan Yesus dalam rahim Perawan Maria oleh karena kuasa Roh Kudus. Yesus dilahirkan oleh Perawan Maria. Teks-teks tentang kelahiran Yesus itu bermaksud menempatkan Yesus secara tegas di tengah umat manusia; Yesus mengalami lingkaran kehidupan dan kematian sebagai manusia, seperti yang dialami oleh manusia pada umumnya. Yesus: Allah dan manusia tinggal di antara kita. Itulah Yesus historis.
Pernyataan akan kodrat ilahi dan kodrat manusia dalam pribadi Yesus, Sabda yang menjelma itu telah diakui oleh Konsili Kalsedon yang berusia seribu lima ratus tahun pada tahun 1951. Kalsedon telah mengakui dan menyatakan bahwa jati diri Yesus Kristus harus dipahami terdiri dari dua kodrat, yaitu kodrat ilahi dan kodrat manusiawi. Dan kedua kodrat itu menjadi satu dalam satu pribadi. Maksudnya dalam pribadi Yesus, sepenuhnya benar-benar ilahi dan benar-benar manusiawi. Untuk tidak memperpanjang penelusuran arti mendalam terkait jati diri Yesus itu, kita angkat pengalaman –pengalaman manusia yang menyentuh kapasitas untuk “bertanya”, terus mencari arti dan makna dari setiap realitas hidup, dalam kaitannya dengan pengalaman cintakasih, dan pengalaman manusia yang memiliki harapan ketika berhadapan denga segala problematika hidup, mengantar kita pada kesadaran yang sama akan dimensi manusiawi bahwa manusia memiliki dorongan batin yang dinamis menuju yang tak terbatas, yang kita sebut Allah. Kata Santo Agustinus: “Engkau menciptakan kami untuk diri-Mu sendiri ya Allah, dan hati kami tidak tenang sebelum beristirahat dalam diri-Mu.” Kita mengakui bahwa kita diciptakan untuk Allah dan ini bukan sebuah kebetulan. Maka pada prinsipnya, kodrat manusiawi adalah mencari dan mendambakan yang tak terbatas. Dan, ini menyingkap misteri makna menjadi manusia, baik bagi diri kita sendiri maupun bagi Yesus. Konstitusi pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini (Gaudium et Spes, 22) mengukuhkan kemanusian Yesus Kristus. Katanya: “Kodrat manusiawi disambut, bukan luluh diserap.... Ia bekerja dengan tangan manusiawi, Ia berpikir dengan akal budi manusiawi, Ia bertindak dengan kehendak manusiawi, dan dengan hati manusiawi Ia mencintai. Karena lahir dari Perawan Maria, Ia sungguh telah menjadi seorang di antara kita, menyerupai kita dalam segalanya kecuali dosa.”
Selanjutnya menyinggung kodrat ilahi, kita menyadari bahwa kodrat Allah (apa adanya Allah sendiri) sama sekali tidak kita pahami. Kata, konsep, gambaran, nama dan definisi yang dipakai manusia tidak mampu mengungkapkan apa adanya Allah secara penuh dan utuh. Maka kita tidak dapat memahami Allah sepenuhnya dan seutuhnya. Allah adalah misteri, namun kita dalam iman Kristiani selalu berani menyatakan bahwa Allah adalah Kasih, misteri kasih yang amat mendalam. Perjanjian Baru merangkum Allah dalam satu kata: “Allah adalah Kasih” (1Yoh 4:8). Cinta kasih mampu memberikan diri-Nya sendiri, mampu mencurahkan diri-Nya sendiri, mempersatukan diri-Nya sendiri dengan orang lain. Inilah kodrat ilahi sebagai misteri cinta kasih yang mengomunikasikan diri. Sehubungan dengan Yesus dari Nazaret, kita bertemu dengan seorang yang persatuan-Nya dengan Allah lebih mendalam dari siapa pun di antara kita. Jika kemanusian-Nya dipersatukan dengan ke-Allahan-Nya dengan cara yang sangat mendalam, maka apa yang harus kita katakan? Yesus sungguh-sungguh manusia dan sungguh-sungguh Allah.
Oleh penjelmaan-Nya Yesus “sama dengan kita, hanya tidak berbuat dosa” (Ibr 4:15-5:3). Yesus Kristus adalah Allah beserta kita. Dengan bantuan konsep kenosis atau pengosongan diri, Allah, Cinta kasih yang secara kekal mengungkapkan diri di dalam kodrat ilahi, dalam waktu, dalam kodrat manusiawi. Allah mengosongkan diri-Nya sendiri dari kemuliaan kodrat ilahi-Nya. Dalam kaitan dengan Yesus, Paulus menulis: “Walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik-Nya yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba” (Flp 2:6-7). Dalam konteks pencarian dan pemaknaan jati diri Yesus, maka kita patut menegaskan kembali bahwa kodrat manusiawi adalah pencarian yang mendalam, yang mendambakan yang tak terbatas. Kodrat ilahi adalah misteri Kasih yang tak terpahami sepenuhnya, yang memberikan diri-Nya seutuh-utuhnya. Kedua kodrat itu bersatu dalam penjelmaan, dalam kesatuan pribadi, Yesus. Sebagai manusia, Yesus adalah Anak Allah. Ia sepenuhnya manusia dan seperti itu Ia adalah Allah yang telah mengosongkan diri-Nya masuk dalam sejarah kita dan menyejarah bersama kita semua. Yesus benar-benar manusia dan sekaligus tetap utuhnya benar-benar Allah. Itulah keutuhan pengakuan iman kita.
Yesus Kristus lahir sebagai pengungkapan diri Allah sendiri dalam waktu. Misteri Cinta Kasih Allah yang memberikan diri dalam diri Yesus, dalam wujud-Nya sebagai manusia, mengejawantakan pengosongan diri Allah, Kasih. Maka, Perayaan Natal sesungguhnya menjadi momen Tuhan memberi makna bagi hidup kita secara menyeluruh.
Kelahiran Yesus, Natal, kita rayakan bersama setiap tahun dengan kualitas iman yang bermacam-macam sesuai dengan konteks hidup dan budaya umat beriman yang beragam warnanya dan dalam lingkup peradaban yang berbeda pula. Kenyataan ini terkadang membuat umat beriman kurang menyadari akan makna terdalam dari Natal, Pesta Kelahiran Yesus. Maka selayaknya sambil memegang teguh butir-butir pesan pewartaan seperti yang kita uraikan di atas, kita juga perlu melihat pemaknaan Natal itu sesuai dengan konteks kehidupan umat beriman dari waktu ke waktu melalui beberapa rekam pemaknaan akan perayaan Natal itu. Oleh karena itu, melalui sajian beberapa rekam pemaknaan perayaan Natal di bawah ini, kita bisa melihat sejauh mana Pesta Natal itu dirayakan, sedalam mana iman dan motivasi umat berpartisipasi dalam Perayaan Natal tersebut di dalam lingkup kehidupan kebanyakan umat manusia, termasuk umat beriman sendiri, yang boleh saja mengalami “pergeseran.”
Rekam Pemaknaan Natal
Pada bagian ini, saya mau menunjukkan arti dan pemaknaan Natal yang terungkap melalui beragam cara Pesta Natal itu dirayakan dalam konteks budaya dan keimanan umat manusia atau umat beriman khususnya akan Pesta Natal itu.
Untuk sementara orang, Natal merupakan sebuah pesta komersial. Adanya tawaran diskon natal; hadirnya “papa natal” di pusat-pusat pembelanjaan yang beraksi menyalami pengunjung dan bagi-bagi hadiah. Jauh-jauh hari sebelumnya, kita melihat dekorasi natal tertatah indah, gemerlap pernak-pernik natal: beragam hiasan dan pohon-pohon natal terpajang rapih di sepanjang lorong mall juga di ruko-ruko. Sementara itu, hati dan perasaan terbuai dalam keindahan musik dan alunan merdu lagu-lagu khas Natal. Kadang terasa lucu karena kita sudah bisa mendengarkan lagu “Silent Night” di awal bulan Oktober. Mungkin inilah sebuah kemasan persiapan, bagai suguhan pembuka menjelang dan menyongsong sajian menu utamanya yakni perayaan Pesta Natal. Ya adanya kesibukan dalam bulan-bulan sebelum akhir tahun khususnya setiap kali sebelum hari Natal. Orang sibuk mempersiapkan dan merayakan Natal. Dan pusat-pusat pembelanjaan seolah-olah menjadi pusat perayaan Natal.
Bagi yang lain, Natal merupakan sebuah pesta keluarga. Spirit “belong to” dan “to feel as a part of” keluarga sangat kuat. Semua anggota keluarga berkumpul bersama kembali, diikat satukan oleh “tali pusat” bagai “benang keluarga dan kekeluargaan.” Setiap anggota keluarga merasa gembira di tengah keluarganya, boleh berjumpa kembali dengan anggota keluarga yang lain. Lahirlah istilah “pulang ke rumah” kalau pesta Natal.
Bagi sejumlah orang lain, Natal dimaknai sebaliknya dari apa yang sudah dikatakan di atas. Natal, bagi mereka, merupakan sebuah pesta dalam kesunyian dan kesendirian. Tentu ini bagi yang hidup sendirian, singel, tanpa keluarga. Ada perasaan “sendirian” di tengah semarak pesta; mereka melewati pesta Natal tidak dengan siapa-siapa.
Yang lain lagi yang hidup di tengah kecamukan perang, mungkin mengejutkan kita, kalau dikatakan bahwa mereka sungguh mengalami “damai, sukacita, kegembiraan”, pada Hari Raya Natal, karena pada hari raya Natal itu, dikatakan bahwa orang berhenti tembak-menembak. Lebih dari itu, ada yang mengalami Pesta Natal sebagai “momen sesaat” di mana orang melupakan krisis, orang melupakan semua beban dan masalah hidup, tentu hanya dengan merayakan Natal dan merasakannya di dalam relung hati.
Bagi kalangan remaja atau pun kebanyakan orang, Natal merupakan sebuah pesta “hadiah”, maksudnya orang tukar menukar hadiah di hari pesta itu. Natal sama dengan hadiah: memberi dan menerima hadiah. Dalam konteks ini, maka terlihat bagaimana pusat-pusat pembelanjaan menjadi sangat ramai, toko-toko diisi dengan bermacam-macam hadiah. Orang berbelanja dengan harga corting. Orang seakan “demam” belanja hanya demi pesta Natal. Pikiran dan perasaan terjebak dalam sebuah “gengsi” mesti memiliki ini dan itu biar terasa nuansa pestanya. Puncak dari nuansa ini adalah “memberi, menerima dan mengucapkan terimakasih”. Di sini boleh saja, Natal dimaknai hanya sebatas sebuah hadiah. Saya merasa kita tidak berhenti di sini walau hanya sekedar “memberi dan menerima” hadiah. Maka pertanyaan kita adalah apa tujuan yang mau diperoleh dengan tindakan “memberi dan menerima hadiah?” Mengapa orang saling “tukar-menukar hadiah?” Biasanya orang mengenangkan dan merayakan peristiwa tertentu dalam hidupnya, seperti hari ulang tahun kelahiran, hari ulang tahun pernikahan, atau ulang tahun hidup membiara dan kaul kekal atau ulang tahun imamat, dll. Pada kesempatan itu orang mendapat hadiah. Lahirlah rasa gembira dan syukur dalam diri penerima dan pemberi hadiah. Penerima tentu memerlukan hadiah itu. Penghargaan kita terhadap sebuah hadiah yakni dengan cara menggunakan hadiah tersebut. Maka dia menerimanya dengan penuh rasa syukur. Dan lebih dari itu, kita pun perlu menyadari bahwa di balik hadiah yang diterima ada pesan dan ada pula nilai-nilai luhur yang dikomunikasikan, seperti persaudaraan, penghargaan, kasih dan sukacita. Diharapkan tidak terjadi “barter” atau do ut des atau kompensasi material pada kesempatan-kesempatan istimewa yang dirayakan itu. Atau juga bukan atas dasar pertimbangan “untung-rugi.” Cinta itu pemberian karena mengasihi. “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yoh 13:35).
Natal Tanpa Yesus Bukanlah Perayaan Natal
Dengan hadiah saja, rasanya tidak cukup dan pantas kita menjadikan Natal sebagai sebuah perayaan Natal. Bagi kita umat kristiani, Pesta Natal (dari bahasa Latin: natalis ‘kelahiran’) adalah perayaan kelahiran Tuhan Yesus, Putra Allah, Penyelamat, yang dinantikan, seperti yang diwartakan oleh para Nabi. Sedangkan kata Yesus, dalam bahasa Ibrani artinya Tuhan menyelamatkan. Nomen est omen ‘nama adalah tanda’. Nama Yesus mengungkapkan identitas-Nya yang sejati dan karya misi-Nya yakni menyelamatkan manusia dari dosa dan menuntun mereka kepada Allah Bapa. Kelahiran Yesus merupakan jantung Inkarnasi. Agenda besar Tuhan adalah melaksanakan penyelamatan bagi umat manusia. Maka langkah awal yang diambil Tuhan adalah Firman, Putra Tunggal Bapa, menjadi manusia tanpa kehilangan sedikitpun keilahiannya walau Dia mengambil rupa manusia. Credo kita merangkum peristiwa Inkarnasi Firman ini. “Aku percaya akan Allah, Bapa (...) dan akan Yesus Kristus (...). Justru karena demi kita manusia dan keselamatan kita, maka Yesus turun dari suga, diutus Bapa. Berkat karya Roh Kudus, Dia dikandung oleh Perawan Maria dan menjadi manusia.
“Telah lahir bagimu Juru Selamat.” Bahwa sang Firman Allah menjadi manusia. Penginjil mengisahkan peristiwa besar ini yakni peristiwa kelahiran Yesus. “Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin, dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan” (Luk 2:6; Mat 1:18-25). Di wilayah itu ada gembala-gembala yang sibuk dengan kerja penjagaan domba-domba. Mereka pun diberitahukan Malaikat kabar gembira bahwa “hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud” (Luk 2:11). Mereka pun diberi tanda agar gampang menemukan isi kabar yang menggembirakan itu, yakni “kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring dalam palungan” (Luk 2:12). Tidak terlihat bahwa ada sesuatu yang mencolok mata. Yang terjadi hanyalah biasa-biasa saja. Yang dilukiskan Penginjil hanya adanya kandang binatang, lampin dan palungan dan orang tua Yesus: Maria dan Yusuf bersama dengan bayi Yesus dalam palungan. Lalu menyusul para gembala. Tidak ada sanak-kerabat, anggota keluarga besar yang datang pada waktu kelahiran; yang lain baru berdatangan setelah mendapat kabar. Yang terlihat lagi di dalam kandang binatang itu kebutuhan dan keperluan bagi bayi Yesus, seperti bayi-bayi lain pada umumnya.
Kondisi saat Yesus lahir sangatlah sederhana dan boleh dikatakan bahwa “memang dalam kemiskinan”. Ini sangat menakjubkan. Yesus, Putra Allah datang ke dunia bukannya dengan segala kekuasaan dan keperkasaan serta kebesarannya. Sesungguhnya Dia juga tidak dipaksakan datang. Alasannya hanyalah karena KASIH. Allah Bapa setia dalam janji-Nya dan dengan kasih pula Allah mewujudkan rencana kedatangan Putra-Nya itu demi keberpihakan dan tindakan bela rasa kepada umat manusia. Maka, tak ada tempat baginya di rumah penduduk kota. Ia merasa puas dengan lahir di dalam sebuah kandang, dibungkus dengan lampin dan dibaringkan di dalam palungan. Itu sudah cukup bagi-Nya. Dan justru di dalam konteks dan kondisi seperti inilah Yesus lahir. Yesus lahir di Betlehem di antara anak-anak miskin lainnya; menurut pandangan mata kita manusia, Yesus lemah dan tidak punya kekuatan membela diri. Yesus datang ke dunia, tinggal di antara manusia, mengambil bagian dalam kondisi hidup manusia kecuali dalam hal dosa. Firman menjadi manusia. Jauh sesudah itu, Yesus, dalam karya-Nya di tengah publik, mengatakan: “sebab ketika Aku lapar...ketika Aku haus...ketika Aku seorang asing...ketika Aku telanjang...ketika Aku sakit...ketika Aku di dalam penjara...” (Mat 25:35-36). Yesus tidak membicarakan kondisi kelahiran-Nya, tetapi yang kita lihat dari kelahiran-Nya adalah bahwa Yesus menjadi seperti kita. Karena Yesus mengatakan bahwa “sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40).
Natal sebagai sebuah hadiah mengingatkan kita akan peristiwa besar dan penting yaitu kelahiran Yesus. Hal ini merupakan sebuah hadiah Tuhan bagi umat manusia karena memang sangatlah diperlukan oleh umat manusia dalam seluruh proses peziarahannya. Maka jelas bagi kita umat beriman, bahwa pada perayaan Natal Tuhan Allah memberi diri kepada manusia dalam diri Yesus kristus. Maka sekali lagi kita katakan bahwa Natal merupakan sebuah Pesta Hadiah. Namun haruslah kita sadari bahwa Natal tanpa Yesus bukanlah sebuah perayaan Natal. Yesus merupakan hadiah dari Allah untuk kita. Tuhan memberi diri dalam diri Yesus dan kita umat-Nya menerima dan menyambut Yesus dalam iman, sukacita dan damai. Walau keadaan dan kondisi hidup kita sulit, tetapi kita jangan melupakan bahwa Perayaan Natal mengingatkan kita bahwa Tuhan Allah tidak pernah berhenti mencintai kita. Allah yang transenden, jauh menjadi Allah yang immanen, dekat dalam diri Yesus Kristus dan ada menyertai kita dan bahkan tinggal di tengah-tengah kita. Karena Allah mau dan tetap bersolider serta berbelarasa dengan kita umat-Nya dan memenuhi hati kita dengan segala rahmat (rahmat damai, cinta dan iman, dan rahmat-rahmat yang lain) dan berkat-Nya. Natal menyusutkan egoisme kita; Natal mengusik jiwa materialistis; Natal menjauhkan gaya hidup hedonisme; Natal menghalau kejahatan dan permusuhan. Kelahiran Yesus adalah tanda kehidupan yang selalu diperbaharui dan menjadi sumber yang diandalkan bagi pengharapan dunia.
Berbagi: Sebuah Urgensi
Menelusuri alur renungan ini, maka kita tidak hanya sampai pada penegasan prinsip imani kita dan pembaruan butir-butir iman kita itu akan Natal, Kelahiran Yesus, Sang Juru Selamat. Mestinya ada suatu tindak lanjut dari pemaknaan imani akan Natal Yesus itu. Rasul Yakobus mengatakan: “iman tanpa perbuatan adalah mati” (Yak 2:26). Hal ini menuntut suatu konsistensi dalam hidup antara perkataan dan perbuatan, antara iman dan penghayatan, maksudnya apa yang kita imani itu kita wujudkan, kita hayati dalam kehidupan harian kita. Menyadari kecenderungan dan kelemahan kita, kita perlu selalu menyikapi secara kritis seruan ini do more talk less.
Pemikiran-pemikiran di atas mendorong dan memotivasikan kita untuk “berbagi”, satu dimensi sentral dari misi kita. Pepatah Perancis mengatakan: Noël, c’est partager. Maksudnya, Natal itu artinya membagi (berbagi). Ini mengingatkan kita bahwa kita sudah menerima secara cuma-cuma dari Tuhan maka kita diajak membagikan pula dengan cuma-cuma apa yang kita terima dari Tuhan itu. Kita dapat memahaminya bahwa ini merupakan sebuah cambuk penyemangat bagi kita umat beriman untuk memberi dengan gratis atau berbagi kepada sesama dengan cuma-cuma karena kita sudah menerima secara gratis pula. Inilah makna Natal dan sekaligus misi kita baik secara intern maupun secara ad gentes melampaui batas-batas agama, suku dan budaya. Bahwa kita telah menerima Yesus secara cuma-cuma dan sudah tiba waktunya, dan saatnya giliran kita membagikan Yesus yang sama secara cuma-cuma pula kepada sesama.
Tidak ada sesuatu yang lebih indah, lebih penting dan lebih mendesak dari pada membagikan secara cuma-cuma kepada sesama apa yang kita peroleh dari Allah, yakni Yesus: kasih Allah dan Firman yang menjelma itu. Kita yang sudah menerima karunia iman dari Tuhan terdorong mengomunikasikan iman yang sama itu kepada sesama; kita yang sudah mendapat rahmat keselamatan dari Allah, disemangati menularkan rahmat keselamatan yang sama kepada sesama. Yesuslah inti dari pewartaan. Sabda Yesus, pengajaran-Nya dan tindakan penyelamatan-Nya menjadi isi dari kesaksian dan pelayanan kita.
Misi Evangelisasi Gereja merupakan jawaban terhadap seruan Maranatha ‘datanglah, ya Tuhan Yesus’ yang patut bergema dari setiap mulut umat beriman sepanjang sejarah hidupnya dalam bingkai sejarah keselamatan. Saya mengutip Visi dan Misi CSE, Putri Karmel, dan KTM yang berbunyi: “Dalam kuasa Roh Kudus, mengalami dan menhayati sendiri kehadiran Allah yang penuh kasih dan menyelamatkan sampai pada persatuan cinta kasih serta membawa orng lain pada pengalaman yang sama.” Kebenaran yang menghidupkan, yang menjadi daging dalam diri Yesus terus mengobarkan hati setiap orang yang menerima dan mengakuinya dalam cinta kasih. Hal ini pun patut dibagikan kepada sesama secara gratis. Dalam perayaan Natal kita menyadari bahwa Allah mendekatkan diri, menyatakan kasih-Nya bahkan memberi diri-Nya bagai sebuah hadiah. Dan sikap kita, mula-mula adalah memberikan apresiasi dalam bentuk pujian dan syukur, lalu menerima hadiah itu dengan penuh cinta kasih dan iman serta berbagi dengan yang lain. Dalam hal ini Maria Bunda kita menjadi model yang tidak ada bandingannya bagi misi Evangelisasi. Bunda Maria tidak menyampaikan ide atau gagasan kepada kita melainkan Ia mengkomunikasikan Sabda yang menjelma. Maka pada kesempatan mengambil bagian dalam perayaan Natal kita boleh merasakan “kegembiraan membagi” baik Allah yang membagi maupun umat beriman yang juga berbagi kepada sesama apa yang diterimanya dari Allah. Inilah kabar gembira bagi kita semua. Allah begitu mencintai kita sehingga memberikan Putra-Nya agar dunia diselamatkan oleh-Nya.
Manusia selalu dalam peziarahan. Dan pada kodratnya, manusia terus-menerus mencari Allah. Diimani bahwa Allah mewahyukan diri-Nya bagi manusia, maka manusia selalu berjuang untuk menemukan Allah, mengalami Kasih-Nya. Untuk sampai pada pengalaman akan Kasih Allah yang dihadirkan oleh Yesus Kristus, manusia mempertaruhkan seluruh usahanya, dan Allah pun menolong manusia dengan kuasa dan rahmat-rahmat-Nya. Saya meyakini bahwa seorang manusia tidak akan pernah puas dalam hidupnya hanya bila ia sudah berjumpah dengan Allah. Santa Edith Stein menulis: “Setiap orang yang mencari kebenaran, pastilah mencari Allah, entah disadari entah tidak.” Allah mendekati kita dan mewahyukan diri-Nya kepada kita oleh karena Cinta Kasih-Nya kepada kita semua. Allah membuka diri-Nya dan seakan-akan menempuh sebuah perjalanan dari “keabadiaan” menuju “Firman menjadi manusia” yang adalah Wahyu yang paripurna dalam Yesus Kristus. Allah hadir di tengah-tengah kita dan selalu menyertai kita. Maka, melalui Yesus Kristus, Allah yang “tidak kelihatan dan jauh menjadi kelihatan dan dekat” dengan kita umat-Nya. Tujuan dari semuanya itu supaya manusia memperoleh keselamatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar